Sekelumit Cita-Cita dan Harapan Dakwah


Demokrasi dan Partai Islam

Partai politik dalam zaman serba demokrasi sekarang ini adalah sebuah keniscayaan. Karena setiap warga negara memerlukan partai politik sebagai wadah penyalur aspirasinya. Partai politik sendiri menurut UU No. 31 Tahun 2002 pasal 1 (1) adalah:

“Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.

Sigmun Neuman seperti yang dikutip oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya “Partisipasi Politik dan partai Politik” mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut : “Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuasaan-kekuasaan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas”. (Neuman dalam Miriam Budiardjo, 1998:16-17)

Dalam sejarahnya Partai politik didunia pertama kali dibentuk di Eropa Barat dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam proses politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam perkembangannya kemudian partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu sistem politik yang demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat.
Dalam sejarah Partai politik di Indonesia partai yang pertama kali terbentuk adalah De Indische Partij yang pada 25 Desember 1912 dibentuk Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Tujuan parpol itu adalah mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Sedangkan Organisasi Islam yang berjuang di arena politik lahir di tahun 1912 ketika Haji Oemar Said Tjokroaminoto memberikan kepada SDI nama baru, yaitu Sarikat Islam (SI), karena hendak meluaskan perjuangannya tidak terbatas pada bidang ekonomi saja.

Setelah itu mulai bermunculan organisasi atau partai Islam yang berjuang juga di ranah politik, seperti : Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Masyumi hingga Partai Perstuan Pembangunan (PPP). Di masa orde baru praktis hanya PPP yang menjadi corong perjuangan politik umat Islam di Indonesia. Hingga masa reformasi datang, maka tumbuh berjamuranlah partai-partai Islam di Indonesia. Setiap organisasi dan kelompok umat Islam ingin membentuk wadah politiknya sendiri.

Termasuk Partai Keadilan yang berikutnya bertansformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai jamaah dakwah yang terorganisir, jamaah tarbiyah telah lama bergerak dalam dakwah di Indonesia. Hanya saja rezim orde baru yang tidak memberikan kesempatan bagi jamaah ini untuk bergerak secara terang-terangan di masyarakat. Hingga anugerah reformasi dijadikan sebagai momentum untuk mengokohkan eksistensi dakwahnya, salah satunya dengan membentuk partai sebagai sarana perjuangan politik. Tapi lebih jauh dari itu PKS yang memang basisnya dalah harokah dakwah, memiliki peran yang amat luas bagi perbaikan masyarakat bukan hanya dalam konteks perjuangan politik.

Peran dan Fungsi Ideal Partai Politik Islam

Jika kita lihat kembali sejarah dan bagaimana Undang-undang serta para pakar mendeinisikan partai politik maka kita akan mendapatkan beberapa poin penting :

1. Memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Dalam hal ini maka wajar jika Partai politik Islam memperjuangkan kepentingan anggotanya yang notabene nya umat Islam.
2. Memusatkan perhatiannya untuk menguasai pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dengan kelompok lain yang berbeda ideology dan pandangan.
Partai politik memang ber-orientasi kekuasaan, salahkah itu menurut Islam? Akan kita bahas kemudian.
3. Perantara antar kekuasaan , dan perantara antara ideologinya dengan lembaga-lembaga pemerintahan.

Lalu bagaimanakah kekuasaan dalam Islam dan dimanakah seharusnya peran PKS ?

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ (٥٥)فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
55. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan  meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam). Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.

Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan kekuasaan atau berkuasa secara jelas. Dimana kekuasaan ini dijanjikan kepada hamba-Nya dengan kriteri tertentu, dalam hal ini adalah ber-iman dan dan beramal shaleh.

“Sesungguhnya hakikat iman itu yang dengannya akan terealisasi janji Allah secara pasti adalah hakikat sangat besar yang mencakup seluruh aspek aktivitas manusia. Dan hakikat itu mengarahkan seluruh aktivitas manusia. Maka, keyika hakikat itu bersemayam dalam hati, ia akan menampakkan dirinya dalam gambaran amal yang penuh semangat, pembangun, dan kreativitas yang semuanya tertuju kepada Allah. Orang yang melakukan itu semata-mata hanya mencari ridha Allah.” (Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an)

Amal dengan landasan  iman yang kuat mampu menghadirkan kerja-kerja produktif dalam membangun masyarakat. Amal shaleh tidak melulu seputar ibadah lahiah yang menghadirkan pembangunan karakter kesholehan pribadi. Amal sholeh juga merupakan kerja-kerja mendidik masyarakat, mengembangkan ilmu pengetahuan yang menjadi solusi hambatan masyarakat. Amal sholeh juga berarti membangun ketahanan ekonomi masyrakat, dan lain sebagainya. Atas landasan keimanan dan amal sholeh itulah Allah SWT menjanjikan umat Islam kekuasaan.

Namun sesungguhnya juga kekuasaan bukan hanya sekedar menguasai, mengatur dan menetapkan hukum-hukum. Berkuasa juga berarti memakmurkan, membangun, dan menyejahterakan. Kekauasaan mencakup usaha perbaikan dan pemakmuran, bukan penghancuran dan pemusnahan. Kekuasaan juga mencangkup usaha penegakkan keadilan dan menghadirkan ketenangan, bukan penzhaliman dan penjajahan. Berkuasa juga berarti memperbaiki individu dalam masyarakat bukan membuat masyrakat menjadi menyimpang.
Bentuk keiman  kuat dan tindakan amal shaleh tidak cukup dilakukan oleh segelintir umat Islam. Hal ini harus terwujud secara massif di masyarakat, dalam hal ini PKS perlu untuk memperbanyak kader-kader produktifnya. Proses pengkaderan ini tidak cukup hanya dengan merekrut orang, tapi juga pengembangan potensi para kader sehingga mampu melakukan kerja-kerja produktif di masyarakat.Untuk menciptakan kader-kader yang mampu beramal sholeh di masyarakat dengan landasan iman yang kuat, PKS perlu membangun system pembangunan generasi penopang peradaban.

PKS bukanlah partai yang terbentuk hanya kaena ada kesempatan, tapi juga partai yang memiliki basis konstituen yang jelas dan loyal. Maka PKS tidak boleh hanya menjadi partai yang bekerja tahunan jika ada momentum pemilihan umum.
Untuk itu PKS sebagai jamaah dakwah perlu melakukan kerja-kerja perbaikan masyarakat, dari segi pendidikan, ekonomi, ketahanan mental, dan lain sebagainya. Kerja-kerja ini merupakan basis amal sholeh yang menjadi landasan terwujudnya janji berkuasa.
Lalu bagaimanakah PKS dapat membentuk kader-kader yang memiliki keimanan yang kuat dan amal shaleh yang menjadi solusi di masyarakat?

Jika kita melihat peradaban Islam dulu berkembang, meluas dan menjadi poros kemajuan dunia. Peradaban Islam ketika itu mampu melahirkan tokok-tokoh yang disegani dunia dalam keahliannya. Hal ini tentu bukan perkara yang mudah, dan bukan dibangun dalam waktu yang singkat.

PKS perlu untuk melahirkan tokoh-tokoh dalam masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat ini bukanlah tokoh-tokoh karbitan yang dipaksakan, tapi tokokh-tokoh ini dibentuk dan diciptakan dalam system tarbiyah. Kader-kader yang memiliki keahlian khusus atau memiliki keunggulan dalam masyarakat, yang tentu saja kehlian dan keunggulannya bisa menjadi solusi dalam masyarakat, secara alami akan muncul sebagai tokoh-tokoh baru dalam masyarakat. Sehingga kader-kader PKS bisa dipercaya masyarakat sebagai sumber solusi dan inspirasi bagi salah satu problematika di masyarakat.
Sebagaimana kita tahu, Nabi Muhammad saw secara alami tumbuh sebagai tokoh muda di Mekkah. Karena Nabi Muhammmad saw memiliki kecakapan interpersonal yang tidak dimiliki tokoh Quraisy yang lain. Ketika konfilk renovasi Ka’bah, Nabi Muhammad saw dipercaya memberikan solusi bagi permasalahan itu. Ini terjadi karena Nabi Muhammad saw memiliki keahlian dan keunggulan sehingga dipercaya mampu memberikan solusi.

Kita juga mengenal Ibu Sina atau orang barat menyebutnya Avicena. Ibnu Sina tumbuh menjadi tokoh kedoteran modern bukan karena proses yang instan. Diumurnya yang 10 tahun Ibnu Sina sudah mampu menghafal Quran, setelah itu beliau ditempa dengan menimba ilmu. Hingga hadirlah beliau sebagai bapak kedoteran modern.

Di zaman modern sekarang, pendidikan formal sangatlah penting bagi perkembangan kompetensi keahlian kader. Dari pendidikan formal ini kader mampu menjelma menjadi pemikir, pencerah dan pemberi solusi-solusi baru di masyarakat. Oleh kaena itu PKS harus mampu membuka jaringan-jaringan pendidikan bagi kadernya, bukan hanya tingkat sekolah dasar dan menengah, tapi juga tingkat pendidikan tinggi bahkan sampai doctoral. Pengupayaan pendidikan ini dalam rangka PKS menumbuhkan tokoh-tokoh baru dalam masyarakat, yang dengan keilmuannya ia mampu memberikan solusi bagi masyarakat dan bangsa ini. Selain juga mewujudkan amal shaleh.
Lembaga pendidikan yang terjangkau oleh kader merupakan sarana yang sangat penting. Hasil pendidikan ini yang mampu mengangkat ketokohan PKS di mata masyarakat. Namun kita juga memahami betapa mahalnya ongkos operasional lembaga pendidikan, yang mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan yang ditanggung kader. Solusinya PKS perlu untuk membangun jaringan ke sector-sektor potensial sehingga kader bisa mengakses dana-dana masyarakat, pemerintah maupun swasta yang belum terberdayakan dengan maksimal.

Sehingga dengan kualitas pendidikan kader yang mumpuni, PKS dapat tumbuh menjadi partai yang mampu menghadirkan amal shaleh yang menjadi solusi bagi masyarakat. Dengan keimanan yang terus ditempa dalam system tarbiyah dan amal shaleh yang menjadi solusi, insya Allah janji Allah SWT akan terwujud, yaitu berkuasa dimuka bumi. Yang dengan kekuasaan itu PKS mampu menegakkan agama Allah SWT di bumi Indonesia dan mengahdirkan keamanan, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi umat, bangsa dan negara.

KESIMPULAN

Kerja-Kerja yang Harus di Lakukan Partai Keadilan Sejahtera:

1. Berperan Aktif Dalam Memperjuangkan Kepentingan Umat Islam
2. Membina hubungan baik dengan tokoh-tokoh masyarakat
3. Menciptakan tokoh-tokoh masyarakat
4. Membuka jaringan ke lembaga-lembaga pendidikan sehingga kader mampu mengakses pendidikan yang baik
5. Serius dalam fund raising untuk mengakses dana-dana masyarakat, pemerintah dan swasta yang belum tergarap maksimal

DAFTAR PUSTAKA
HYPERLINK “http://samsulhi.blogspot.com/2013/04/partai-politik.html” http://samsulhi.blogspot.com/2013/04/partai-politik.html
HYPERLINK “http://biografi-orang-sukses-dunia.blogspot.com/2013/09/biografi-ibnu-sina-ilmuwan-muslim-pakar.html” http://biografi-orang-sukses-dunia.blogspot.com/2013/09/biografi-ibnu-sina-ilmuwan-muslim-pakar.html
Quthb, Sayyid. 1952. Fi Zhilalil Quran.  HYPERLINK “https://tafsirzilal.files.wordpress.com/2012/06/an-nur-indon.pdf” https://tafsirzilal.files.wordpress.com/2012/06/an-nur-indon.pdf

Umar Bin Khattab Membangun Negara


Banyak orang yang menganggap masa pemerintahan Umar bin Khattab adalah masa ekspansi dan penaklukan besar-besaran. Pantas dikatakan demikian karena kedaulatan umat Islam meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Anatolia dan Laut Kaspia di Utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat dan kawasan Nubia di selatan. Bukan hanya itu, negeri yang ditaklukan pun bukan negeri sembarangan, Romawi dan Persia yang sedang berada dalam masa jayanya.

Namun kehebatan umat Islam ketika itu tidak semata-mata karena kehebatan strategi dan keberanian berperang. Tapi juga didukung oleh stabilitas dalam negeri umat Islam yang kondusif. Umar bin Khattab mampu menciptakan atmosfir pemerintahan yang demokratis, transparan dan penuh ketaatan tehadap Allah SWT. Umar bin Khattab menciptakan sistem pemerintahan yang sebelumnya belum pernah dikenal oleh negeri manapun, termasuk Romawi dan Persia. Umar bin Khattab menciptakan sistem kas Negara (Baitul Maal), sistem penggajian pejabat Negara dan kontrak resminya sebagai pejabat Negara, sistem check and balance antara eksekutif dan yudikatif, dan lain-lain.

Maka pantas setiap penaklukan dan perluasan wilayah tidak menimbulkan konflik baru. Setiap wilayah baru tetap terjaga stabilitas dan integrasinya, karena sistem dan kontrol yang baik dari Umar bin Khattab sebagai pemimpin tertinggi Negara.

Perluasan Wilayah kedaulatan

Kepemimpinan Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan Islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.

Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.

Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.

Pembentukan Atmosfer Demokrasi

Di awal pembaitannya sebagai khalifah Umar bin Khattab berpidato di depan kaum muslimin, dia berkata:

“Saudara-saudara! Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini.” Lalu ia menengadah ke atas dan berdoa: “Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Allahumma ya Allah, aku sangat lemah, maka berilah aku kekuatan. Allahumma ya Allah, aku ini kikir, maka jadikanlah aku orang yang drmawan bermurah hati.” Umar berhenti sejenak, menunggu suasana lebih tenang. Kemudian ia berkata: ”Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku, sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan pada mereka.”

Dalam pidato awal kepemimpinannya itu Umar tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dari umat Islam lainnya, justru Umar menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat. Suatu kali Umar berpidato di depan para Gubernurnya: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”

Dalam pidato awal itupun Umar menegaskan bahwa semua orang sejajar di mata hukum, bahwa yang berbuat kebaikan akan mendapat kebaikan dan yang melakukan kejahatan akan dihukum sesuai kadarnya, tidak memandang siapa dan seberapa kaya. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Umar memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.

Bukan hanya itu, Umar bin Khattab membuka keran pendapat seluas-luasnya. Umar dengan lapang dada mendengarkan kritik dan saran dari rakyatnya. Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar, takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.

Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan dan Dewan Pertimbangan

Musyawarah bukan bentuk pembatasan wewenang khalifah dalam memimpin kaum muslimin seperti dalam pengertian parlemen sekarang ini. Musyawarah dilakukan sebagai upaya mencari ke-ridho-an dan keberkahan Allah dalam setiap pengambilan kebijakan negara. Keputusan tertinggi tetap berada ditangan khalifah.

Nabi saw sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan musyawarah, kecuali yang sifatnya wahyu dari Allah SWT. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu merupakan sidang umum atau majelis permusyawaratan yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sifatnya insidental dan melibatkan banyak orang yang mempunyai kompetensi akan masalah yang sedang dibicarakan. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.

Pembentukan Lembaga Peradilan yang Independent

Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.

Pemisahan wewenang ini menghidupkan check and balance antara eksekutif yang melaksanakan pemerintahan dengan lembaga peradilan sebagai ujung tombak penegakkan hukum. Dengan sistem ini eksekutif tidak dapat meng-intervensi keputusan dan proses hukum yang sedang berjalan, hingga jauh dari budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Maka sesungguhnya, jauh sebelum ada teori tentang trias politica (Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif), Umar bin Khattab sudah menerapkan hal tersebut. Cuma perbedaannya Umar tidak menjadikannya sebagai teori, tp Umar menerapkan dalam pemerintahannya. Sebagaimana yang pernah Umar sampaikan di depan kaum muslimin: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.” Umar mendidik rakyatnya dengan perbuatan dan contoh, bukan dengan teori dan kata-kata.

Sistem Monitoring dan Kontroling Pemerintah Daerah

Wilayah kedaulatan umat Islam yang semakin meluas mengharuskan Umar bin Khattab sebagai khalifah melakukan monitoring dan kontroling yang baik terhadap gubernur-gubernurnya. Sebelum diangkat seorang gubernur harus menandatangani pernyataan yang mensyaratkan bahwa “Dia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Lalu dibuat daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat tersebut mendapat ganjaran hukuman.

Selain itu Umar mengangkat seorang penyidik keliling, dia adalah Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi. Dia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya.

Pembentukkan Lembaga Keuangan (Baitul Maal)

Umar bin Khattab menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara.

Kas negara dipungut dari zakat, Kharaj dan jizyah. Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak bumi dan Jizyah atau pajak perseorangan. Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin. Umar bin Khattab menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar.

Pendapat Umar terhadap uang rakyatpun sangat keras, Umar berkata: “Aku tidak berkuasa apa pun terhadap Baitul Maal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”

Dalam penggunaan anggaran kas negara ini, Umar membentuk Departemen-Departemen yang dibutuhkan, contohnya Departemen Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pertanian. Departemen Kesejahteraan Rakyat dibentuk untuk mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Di bidang pertanian Umar memperkenalkan reform (penataan) yang luas, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap.

Hal Lainnya

Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”

Umar bin Khattab merupakan Khalifah yang sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.

Wallahu’alam

Mengikat Hati Sebelum Menjelaskan


Dalam kaidah Fiqh dakwah kali ini, diajarkan pada para da’i untuk mengikat hati sebelum menjelaskan. Risalah Islam merupakan risalah kasih sayang, maka barang siapa yang memikul risalah ini ia harus memliki sifat kasih sayang. Sebagaimana telah diajarkan Rasulullah saw dalam mengemban risalah ini. Allah SWT berfirman :

“ Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)

Seorang da’i yang bijaksana adalah orang-orang yang mampu melihat hati-hati yang tertutup dan kemudian berupaya membukanya dengan lemah lembut dan kasih sayang. Dengan inilah diharapkan hati yang keras menjadi lunak dan mau membuka diri untuk menerima kebaikan. Karena sesuatu yang datangnya dari hati maka akan sampai di hati, dan sesuatu yang datangnya hanya dari lisan maka hanya akan sampai di telinga.

Perlu diketahui bahwa manusia fitrahnya menyukai kesenangan dan dunia. Seperti yang Allah SWT firmankan:

“Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan swah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik ( surga).” (Ali-Imran: 14)

Jadi manusia akan memiliki kecenderungan untuk berbuat salah dan menentang kebenaran untuk meraih kesenangan dunia itu. Apalagi jika hati yang sudah lama tidak tersentuh dakwah, maka hati itu sudah mengeras dan menghitam. Jika kita menyerunya dengan keras maka yang terjadi adalah benturan antara keduanya. Maka sikap lemah lembut dapat melunakkan hati yang telah mengeras itu. Sebagaimana yang telah Rasulullah saw contoh kan berulang kali, seperti pada penduduk Tha’if, dsb.

Dakwah itu tegak diatas hikmah, salah satu maknanya adalah adaptasi terhadap situasi dan kondisi. Ali bin Abi Thalib bekata:

“ Sesungguhnya hati manusia itu kadang-kadang menerima dan kadang-kadang menolak. Maka apabila hati itu menerima, bawalah dia untuk melakukan nawafil (amalan-amalan sunnah), dan apabila hati itu sedang menolak, maka pusatkanlah (cukupkanlah) untuk melakukan faraidh (yang wajib-wajib).”

Dalam kalimat diatas diperlihatkan seseorang yang dididik langsung oleh Rasulullah saw, beliau mengajarkan agar para da’i mampu melihat situasi dan kondisi mad’u (objek dakwah)nya dalam berdakwah. Tidak bisa kita serta merta menyamaratakan kondisi setiap objek dakwah kita, sehingga semuanya mendapatkan perlakuan yang sama.

Dalam kalimat diatas Ali bin Abi Thalib ra juga mengajarkan agar bertahap dalam berdakwah. Jangan kita langsung menyuguhkan semua kewajiban seorang muslim bagi orang yang baru mengenal Islam. Lakukan secara bertahap, sebagaimana dulu Rasulullah saw melarang khamr dan mewajibkan hijab bagi wanita.

Hindarilah Perdebatan

“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Rabb kami dan Rabb kamu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (Al-Ankabuut: 46)

Dalam ayat diatas Allah SWT memerintahkan kita untuk menghindari perdebatan. Jikapun harus berdebat maka debatlah dengan cara yang paling baik. Hal ini untuk memikat hati orang yang berbeda pendirian dan mempersempit jurang pemisah, karena hakekatnya perdebatan yang panjang hanya akan menambah tebal banteng antara da’i dan objek dakwahnya.

Cara yang termasuk lebih baik adalah dengan menyebutkan titik-titik kesepahaman. Kemudian menjadikan titik-titik kesepahaman titik tolak untuk lebih jauh membicarakan titik perbedaan. Buatlah kesan bahwa titik kesepahaman keduanya lebih banyak daripada titik perbedaannya. Adapun titik perbedaan yang sulit dipertemukan maka keputusan dikembalikan kepada Allah SWT. Biarlah Allah SWT yang menghakimi siapa yang benar dan yang salah di akhirat kelak.

Apabila hal ini yang diperintahkan Allah SWT terhadap ahli kita, lalu bagaimana dengan sesama muslim? Dimana di antara keduanya ada ikatan yang lebih kuat dari ikatan darah, yaitu ikatan akidah.

Imam Al-Ghazali mengisahkan dalam kitabnya sebagai berikut, “ Ada seorang lelaki masuk ke rumah Khalifah Al-Makmun untuk memerintahkan yang makruf kepadanya dan mencegah dari berbuat munkar. Maka kemudian orang itu berkata kasar kepada beliau dan keras dalam mengungkapkan sesuatu, dan tidak memperlihatkan bahwa setiap kondisi itu ada ungkapan tertentu yang sesuai dengan kondisi tersebut. Sedang Al-Makmun adalah orang yang memahami fiqih dakwah, maka beliau berkata kepadanya, ‘Hai saudaraku, bersikaplah lemah lembut. Sesungguhnya Allah telah mengutus orang yang lebih baik daripada kamu kepada orang yang lebih buruk daripada aku, namun Allah tetap memerintahkan utusan-Nya itu untuk bersikap lemah lembut. Allah telah mengutus Musa dan Harun – dimana keduanya lebih baik daripada kamu – kepada Fir’aun, yang dia itu lebih buruk daripada aku.’ Allah SWT berwasiat pada Musa dan Harun dengan firman-Nya,

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kalian kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” ( Thaaha: 43-44)

Kadang kala sebagian aktivis dakwah mencampur-adukkan antara berterus terang dalam kebaikan dengan kekerasan dalam berdakwah. Padahal di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jelas. Justru dengan kerasnya perkataan dapat menutupi kebaikan itu sendiri. Objek dakwah akan lebih defensive terhadap kebaikan yang disampaikan dibandingkan menerimanya sebagai sebuah maslahat.

Jangan Mendahului Kehendak Allah SWT

Janganlah para da’i mendahului kehendak Allah SWT dengan memvonis objek dakwahnya tidak akan mendapat ampunan, rahmat dan hidayah dari Allah SWT. Sungguh jika para da’i melakukan itu, maka sesungguhnya mereka sudah menjadi lebih buruk tingkah lakunya dan lebih celaka daripada sang pembuat dosa. Allah SWT mengampuni orang yang merasa hina dan merendah diri di hadapan-Nya dengan tobat yang sesungguhnya. Sementara orang yang merasa bangga terhadap dirinya, karena menganggap dirinya paling suci dan terbebas dari dosa sehingga hal ini yang membuatnya menjauhkan diri dari Allah SWT.

Sesungguhnya jika kamu tidur semalaman dan kemudian dipagi hari kamu menyesal, maka itu lebih baik bagimu daripada kamu shalat semalaman kemudian kamu kagum dengan dirimu sendiri di pagi hari. Karena orang berbangga diri amalnya tidak diterima. Dan jika kamu tertawa dan menyesali dosamu, itu lebih baik daripada kamu menangis tetapi kamu berbangga diri.

Tugas para da’i adalah membersihkan jiwa dan hati objek dakwahnya, bukan menghakiminya. Sehingga ketika mereka mengetahui aib objek dakwahnya, maka mereka harus menutupinya bukan malah mempublikasikanya danmenghakimi dosa yang telah diperbuatnya. Para da’i seharusnya membantu objek dakwahnya untuk menghindari kemaksiatan tersebut. Yaitu dengan menunjukkan pintu tobat. Allah berfirman:

“Katakanlah, ‘ Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( Az-Zumar: 53)

Allah SWT Yang Mengikat Hati

“dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( Al-Anfaal: 63)

Para da’I juga harus meyakini bahwa yang mengikat hati mereka dengan objek dakwah mereka adalah Allah SWT. Tidak satupun materi atau rangkaian kata yang dapat mengikat hati antara keduanya kecuali diiringi atas izin dan kehendak Allah SWT. Maka kekuatan doa dalam aktivitas dakwah kita menjadi hal yang sangat penting. Seberapa keraspun usaha  ketika Allah SWT tidak mengkehendaki maka apa daya manusia. Allah SWT berfirman:

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Ibrahim: 4)

Maka selain menyeru yang makruf dan mencegah yang munkar, doa pun merupakan aktivitas dakwah yang bias dilakukan para da’i. Karena sebagaimana doa Rasulullah, bahwa Allah SWT – lah yang membolak-balikan hati.

Jadilah kamu seperti pohon yang dilempari dengan batu, maka pohon itu menjatuhkan buahnya. Mereka melempari kamu dengan penghinaan dan pelecehan, bahkan penyiksaan, tetapi kamu sikapi mereka dengan lemah lembut, lunak dan kesabaran dalam menghadapi mereka semua itu. Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam semua urusan. -Hasan Al Banna-

Wallahu’alam..